Universitas Hari Ini – Universitas, tempat yang seharusnya menjadi kawah candradimuka lahirnya intelektual bangsa, kini perlahan tergelincir menjadi pabrik ijazah raksasa. Gedung-gedung menjulang, laboratorium mewah, ruang kelas full AC—semuanya tampak mencolok, memanjakan mata. Tapi coba tengok isinya: perkuliahan monoton, kurikulum usang, dan mahasiswa yang lebih sibuk mengurus presensi daripada berpikir slot kamboja bet 100.
Tak bisa dimungkiri, banyak universitas lebih memprioritaskan penampilan daripada substansi. Ranking, akreditasi, sertifikasi internasional—semuanya dikejar demi status dan gengsi. Namun apa gunanya jika lulusan tak mampu berargumen, tak menguasai logika dasar, bahkan bingung menjawab pertanyaan sederhana di luar textbook?
Dosen Menjadi Mesin, Bukan Intelektual Penggerak
Dosen hari ini lebih banyak menjadi mesin pengisi SKS ketimbang pemantik ide. Mereka dituntut untuk memenuhi beban tridharma, menghasilkan publikasi jurnal internasional yang seringkali tidak di baca siapa-siapa, dan mengikuti segudang pelatihan sertifikasi demi kenaikan pangkat. Waktu untuk berdialog dengan mahasiswa? Hampir mustahil. Waktu untuk riset yang membumi? Tergerus birokrasi.
Alih-alih menjadi guru besar yang menyulut api pemikiran, banyak dosen justru terjebak pada rutinitas teknis dan proyek-proyek jangka pendek. Mereka takut bicara tajam, takut mengkritik sistem, karena khawatir terjegal kenaikan jabatan. Kampus yang seharusnya menjadi ruang kebebasan akademik kini di penuhi ketakutan dan kepatuhan buta.
Mahasiswa Apatis: Gelar Di kejar, Ilmu Di tinggal
Tak kalah ironis, mahasiswa yang masuk dengan semangat tinggi perlahan berubah jadi robot yang mengejar IPK. Mereka di tuntut lulus tepat waktu, ikut program MBKM, magang di perusahaan besar, lalu wisuda dengan toga dan senyum lebar. Tapi siapa peduli apakah mereka sungguh mengerti dunia yang mereka hadapi?
Budaya diskusi nyaris mati. Forum-forum kritis hanya segelintir, lebih banyak yang terjebak di ruang senyap bernama grup WhatsApp dan spreadsheet absen. Mahasiswa sibuk membuat konten sosial media ketimbang karya ilmiah. Demonstrasi mahasiswa? Kini lebih ramai di arsip media daripada kenyataan. Mahasiswa bukan tak peduli, tapi terlalu di bebani formalitas dan ketakutan gagal.
Kampus Swasta vs Negeri: Sama-Sama Komersial
Persaingan antara universitas negeri dan swasta hanya soal siapa lebih mahal, siapa punya fasilitas lebih canggih. Uang kuliah tunggal (UKT) yang katanya di sesuaikan, nyatanya tetap mencekik banyak keluarga. Di kampus swasta, pendidikan semakin di komersialkan—kelas internasional, program percepatan, kuliah online—semua dijual seperti paket promosi.
Pertanyaannya: apakah mahasiswa yang membayar mahal mendapatkan pengalaman belajar yang bermutu? Sayangnya, banyak yang hanya di suguhi dosen paruh waktu yang sibuk kejar proyek. Kampus menjadi mall akademik, tempat di mana gelar di beli, bukan di cari lewat perjuangan slot777 gacor.
Inovasi Hanya Sebatas Pameran
Kampus-kampus berlomba membuat pusat inovasi, start-up hub, dan inkubator bisnis. Tapi lebih sering jadi pajangan daripada penggerak perubahan. Mahasiswa di suruh membuat produk kreatif, tapi lupa di ajari berpikir kritis tentang dampaknya. Banyak inovasi yang hanya jadi proyek untuk lomba, bukan solusi untuk masyarakat.
Kampus tak lagi jadi tempat mengasah moral dan nurani. Pendidikan karakter hanya menjadi tema seminar, bukan praktik harian. Budaya plagiarisme tumbuh subur, tugas akhir bisa di beli, skripsi bisa di joki, dan semuanya berlalu begitu saja tanpa sanksi berarti.
Universitas Harusnya Jadi Pelopor, Bukan Pengikut
Universitas seharusnya berdiri paling depan dalam membongkar sistem yang timpang. Tapi faktanya, mereka malah jadi pengekor kebijakan. Alih-alih mengkritisi kebijakan negara yang menyudutkan pendidikan, universitas sibuk mengejar proyek pemerintah demi dana operasional. Suara-suara kritis di bungkam dengan dalih menjaga citra institusi.
Kampus tak boleh hanya jadi simbol. Ia harus hidup, menggugat, menghidupkan nalar. Tapi hari ini, yang terlihat adalah parade formalitas, ritual birokrasi, dan mahasiswa yang berjalan di lorong menuju wisuda, tanpa tahu untuk apa ilmu itu sebenarnya di berikan.